Jumat, 01 Juni 2012

Kenapa Lagunya berubah? (sambungan journey to Rigah)

1 komentar


Begitu tiba di atas. Tara! Ternyata tidak jelek-jelek amat, ada air tergenang membentuk sejenis kolam begitu, ada pohon-pohon tua laksana ayunan, dan juga tanah datar, pas di samping ayunan dan air mengalir itu. Jadi cocok sekali untuk digelar tikar dan makan bersama. Ngomong-ngomong masalah makan, bagitu tiba di sana. Sambil duduk menghela nafas, semua anak merengek lapar. Jam pun menunjukkan pukul 12.30, memang sudah saatnya makan.

Setelah menggelar tikar, kami semua makan bersama-sama. Bekennya disebut “meuramin” dalam bahasa Aceh. Saling berbagi nasi bagi yang tidak cukup, dan tukaran lauknya. Semua tampak bahagia, senyumnya lebar-lebar sekali. Muka yang tadi kerut dan penuh air mata, kini hilang semua. Apalagi pas ada yang nyelutuk “kak habis makan, kami mandi ya.” “boleh, tapi hanya anak cowok yang coleh mandi, dan tentunya setelah shalat dhuhur.”

Yang cowok menyambutnya dengan tepuk tangan, sedang yang cewek kur menghela napas kesal. Bagaimana tidak kuputuskan demikian. Tempat mandinya kecil sekali, macam kolam bebek saja, hanya lebih besar sedikit. Dan juga terbuka lebar. Kalau anak-anak ini mandi, sedang mereka tidak bawa baju ganti, bisa kedinginan dong nanti. Kalau ada yang bawa baju pun, mau ganti baju di mana, wong yang cowok-cowok itu bandelnya tak ketulungan.

Selesai makan, semua kusuruh bersih-bersih dan berwudhu. Evi, dan Minah, mengurusi tempat shalatnya. Tikar tempat duduk tadi, dibersihkan dan digelar di tempat yang lebih lapang, meski tepat di bawah sinaran mentari. Tapi, tak apalah, agar semua muat shalat berjamaah. Sedangkan aku, kak Ati dan Putri, mengurusi anak-anak berwudhu. Susah sekali menyuruh mereka shalat. Ada yang kabur, ada yang berasalan kotor celanalah, banyak sekali alasannya. Yang jelek sekali, mengaku telah shalat padahal, perginya sekalian dengan kami. Shalat sambil jalan apa? Cckckck. Kebanyakan dari yang membangkan adalah yang cowok-cowok, yang sudah gedek-gedek (SMP/SMA). Hanya si Lek, seorang diri yang berhasil dirayu, yang lain betul-betul keukeuh dengan pendiriannya.

Setelah semua terkumpul, anak-anak shalat berjamaah di bawah bimbingan kami, dengan Mahmuda sebagai imam. Melihat mereka shalat serempak, di tengah hutan begini lagi, ughhhh, rasanya hati ini syahdu sekali. Ingin aku menangis saja, karena malu di lihat sama pengurus yang lain, kutahan sekuat tenaga, supaya air mata tidak jadi jatuh. Kedengarannya lebay kan? Tapi begitulah adanya. Selesai mereka, kami yang pengurus yang shalat bergantian.

Selesai shalat, semua kembali berkumpul di tempat semula, yang lebih teduh dan adem. Anak-anak duduk mengelingiku, saat kukatakan, aku ingin melanjutkan cerita yang sempat terputus tadi. Lantas aku memulainya dengan cerita princess Rahmania (pengenalan sifat Allah Yang Maha Pengasih lewat cerita princess). Semua fokus ke arahku, penasaran mungkin, terutama yang wanita. Yang cowoknya ada yang duduk di dekatku, tapi kebanyakan mereka bergelantungan di atas pohon. Sok keren begimana begitu lah istilahnya.

Saat cerita, menanjak hampir ke klimaks. Eh, tiba-tiba kudengar nyanyian lantang, antara iseng dan unjuk gigi kurasa.

“Satu-satu ayah di pintu

Dua-dua ibu masuk ke kamar

Tiga-tiga apa yang terjadi?”

Ting, lonceng di kepalaku langsung berbunyi memperingatkan. Buku Princess Rahmania melorot dari tanganku. Aku syok. Mataku langsung mencari-cari ke arah suara berasal. Ternyata Andria (kelas 2 SD) yang menyanyikannya. Oh God, ia terlalu muda untuk menyanyikan lagu begitu, apalagi memahaminya. Oklah, kalau ia hanya sekadar menyanyi, alias ikut-ikutan, tapi dari sinar jail dan senyum kegelian di matanya, aku tahu, kalau dia paham akan maksud dari nyanyian bobroknya itu.

Tidak hanya berhenti di situ. Tiba-tiba, Ramadhan (tiga tahun lebih tua dari Andria) yang di atas pohon juga ikut menyanyikan, dengan tawa tertahan, ia melengkapkan lagunya.

“Kita punya adek lagi”

Tawa pecah. Semua anak yang tadinya fokus mendengarkanku, sekarang semua terbahak. Hanya aku yang bengong macam orang kesurupan. Antara keheranan, dan juga malu. Oh Tuhan, kenapa lagunya berubah? Siapa pula yang memplesetkan lagunya sampai segitu brobroknya? Perasaan saat aku seumuran mereka, bunyi lagunya tidaklah demikian.

Satu-satu aku sanyang ibu

Dua-dua aku sayang ayah

Tiga-tiga sayang adik kakak

Satu dua tiga sayang semuanya

Atau paling bantet, berubah sedikit, tentu lebih baik pastinya. begini

Satu-satu aku sayang Allah

Dua-dua sayang Rasulullah

Tiga-tiga sayang ibu bapak

Satu dua tiga sayang semuanya

Tapi sekarang kenapa lagunya berubah? Adakah yang tahu siapa pencipta lagu busuk itu? Katakan padaku, biar kukitik sampai tewas. Meksi mukaku memerah, antara keheranan, kesal, dan juga malu. Aku melanjutkan bercerita, seolah-olah tidak terjadi apa-apa, biar fokus anak-anak yang memang sedang khusyuk mendengar tidak buyar lagi. Karena, jika aku ladeni hal-hal begitu, takutnya mereka semakin menjadi-jadi, karena merasa berhasil mencuri perhatianku. Karena dicuekin, mereka berhenti menyanyi, seperti sadar kalau nyanyian mereka dianggap kalah keren dari cerita yang kubaca sama anak-anak yang lain.

Suaraku hampir serak, mereka tidak juga bosan mendengar. Bahkan, ada juga yang meminta bukunya, untuk dibacakannya sendiri. aku menurut saja. Saat semua cerita telah habis kami lahap, dan para hadirin mulai mengundurkan diri, yang cowok sibuk mandi yang cewek sudah pada tertidur, Kelelahan. Lantas aku sibuk dengan kameraku. Membidik setiap momen yang cocok untuk direkam. Saat aku sedang fokus memibidik Farah (kelas 4) yang sedang asik membaca buku sendirian, tiba-tiba ada anak yang berseru, “Lex, Kau duduk di samping Farah. Kak Imah, tolong foto si Alex (kelas 4) dan Farah sekali.”

Aku manut saja, karena di tangan Alex juga sedang terjepit buku cerita. Jadi kupikir, makin banyak yang baca, makin meyakinkan fotonya. Tapi, begitu siap kufoto, tepuk tangan diiringi siulan menggoda, terdengar kompak menggemuruh di sekelilingku. “cie-cie.” Seru mereka rame-rame. Farah yang sedang fokus membaca pun terkejut, dan tersenyum malu-malu. Alex bahagia tak terkira. Senyumnya lebar betul, serasa mau robek saja itu mulut, sangking lebarnya. Lagi-lagi, hanya aku yang bengong saat itu. Ternyata sekecil itu mereka sudah sangat paham yang namanya pacaran atau cewek-cewekan begitu. Ternyata malah aku yang lebih lugu dari mereka. Mana kutahu kalau ternyata si Alex, anak seusia itu cuman pura-pura baca, buat difoto sama cewek. Woi, ini siapa yang anak-anak, siapa yang lebih tua coba? Aku linglung.

Dulu aku memang tidak begitu percaya isu tentang pencucian otak anak, pola pikir, dengan media-media porno yang bisa mengacaukan pikiran anak-anak usia dini. Karena menurut aku , hormon mereka masih begitu putik untuk memahami hal-hal demikian. Ternyata bisa kog mereka paham dan berpikir bobrok begitu? Oh Tuhan, siapa yang harus disalahkan untuk hal ini? Tvkah? Media lainkah? Atau siapa?

Tuhan, aku hanya bisa bedoa, tolong jaga mereka.

from: http://www.husnulkhatimahadnan.com/2012/06/kenapa-lagunya-berubah-lanjutan-journey.html

One Response so far

  1. Marxause says:

    hahaha..asiiik potonya

Leave a Reply