Jumat, 01 Juni 2012

Journey to Rigah (part-1)

0 komentar



Minggu, 24 juli 2011

Subuh ini, jantungku berdetak sedikit lebih kacau dari biasanya. Bagaimana tidak, sedari tadi, aku sibuk wara-wiri ke sana kemari, mempersiapkan perbekalan untuk perjalanan nanti. “Journey to Rigah” aku mengulang-ulangnya dalam hati, demi menghilangkan kecemasan. Ah, sebenarnya aku sendiri juga ragu, apa aku sanggup mengawal anak-anak sebanyak itu ke tengah hutan? sedang aku sendiri belum pernah menginjakkan kaki di sana, sekali pun. Kalau mereka kenapa-napa, kan akulah orang pertama yang akan digorok oleh orang tua mereka.

Ah, hutan itu kan telah menjadi tempat permainan mereka, jadi tenang saja lah, pasti mereka tidak akan kenapa-napa. Aku kembali menghibur diri, sambil tangan cekatan memasukkan botol air minum, bu kulah (nasi bungkus), dan juga tak lupa, mukena dan beberapa buku yang telah kubeli kemarin.

“Mucut, kalheuh? (sudah?), orang ini sudah menunggu di Dayah.” Seruan Nabila membuat ketenanganku buyar kembali. Aku panik. Jam berapa sudah? Mana jam?

“Jeh? Kenapa cepat sekali? Kan janjinya jam 8 baru berkumpul di Dayah.”

Woi, masih jam 7 ey. Kan janjinya jam 8 teng baru berkumpul semua? Ah, dasar anak-anak ini, sok tepat waktu, dah lebih dari bulek saja belagunya. Atau, jangan-jangan memang aku yang kelewat lelet. Ah, aku bergegas semakin express.

“yang lain mana?” ternyata belum begitu ramai yang berkumpul. Memang sih, jam masih menunjukkan pukul setengah 8. Ya, hari ini, janji yang telah dengungkan sama anak-anak, aku tepati. Hari ini, kami akan berpiknik ke air terjun Rigah. Sekitar 2 jam perjalanan bagi anak-anak, sedang 3 jam bagiku. hehehe

Piknik ecek-ecek. aku geli membayangkan akan seperti apa piknik hari ini. Yang penting murah, tapi kuharap mengesankan. Bagi mereka, ini pikinik, tapi bagiku, ini misi “hebat.” Bagaimana tidak? Hari ini adalah hari mengetes sekaligus memotivasi ketertarikan mereka terhadap bacaan. Semoga aku menang, amin. heheh

“Masih belum datang kak imah.” “yasudah, kita tunggu mereka dulu. Lagi pula, belum jam 8 lagi.” Lama kami menunggu di Dayah. Duduk, berdiri, jalan-jalan sebentar. Semua sudah. Tapi belum banyak juga anak-anak yang berdatangan. “orang ini ikut piknik atau tidak? Mereka bilang apa sama kalian? Ikut atau tidak?” aku mulai tidak sabar. Agh, ternyata hanya sebagian yang sok bulek. Aku sudah hampir mati kepanikan tadi, eh ternyata ada yang lebih lembem kog?

Mereka menegaskan dengan penuh keyakinan, kalau yang lain juga ikut. Hanya saja telat datangnya, pakek istilah kalau yang lain sudah pada siap “mengkulah bu.”

Sambil menunggu, aku mengeluarkan buku-buku cerita yang ada dalam tas. “kakak punya buku cerita, mau baca?” “mau kak, mau. Oi, aku duluan. Aku duluan.” Tangan mereka saling menjulur ke arahku, berebut siapa yang dapat giliran baca duluan. Aku kewalahan, karena hanya enam buku yang ada. “sudah-sudah, sini biar k’imah yang bacain. Biar semua bisa dengar. Mau?” serempak sekali mereka menjawab “mau.” Melihat antusias dan binar senang di mata mereka, aku juga ikutan semangat. Aih, lihatlah kawan, lihatlah binar mata itu. Misi hari ini pasti akan terselamatkan dengan baik. Senyum mengembang besar sekali di bibirku. Ah, aku senang.

Sekitar jam 9, semua anak sudah berkumpul. Pengurus cowok memang tidak ikut, karena ini memang program kami yang cewek-cewek mendekati anak-anak, sejenis pembuka jalanlah. Tapi kemana pengurus lain? Semalam kan, pas ditanyain lewat SMS, katanya ikut. Kog sampai sekarang tidak ada? Masak cuman sendiri menghandle hampir 40 anak begini. Ah, bisa mampos aku. Mak, kalau kenapa-napa sama anak-anak orang, tolong mak jangan stress ya kalau ditodong ortu mereka. Aku semakin galau tak menentu.

Kupaksa menahan kepanikan dengan tersenyum, meski kuyakin, pasti kecut sekali senyumanku. Kami terus berjalan sedikit demi sedikit. Baru sekitar 15 menit kami mengatur langkah, terdengar suara gaduh dari arah belakang. Tampak Evi, Kak ati, Putri, Minah, Uning, dan beberapa anak-anak SMA yang laik-laki. Hatiku mendadak lega. Hore, aku tidak jadi mampos mak.

Lantas kami melanjutkan penjelajahan. Semakin lama semakin menanjak, dan melelahkan. Sungguh, mengurus anak-anak ini bikin keriting poni. Yang laki-laki, jalannya macam kancil. Belum apa-apa sudah hilang dari pandangan. Sedang yang wanita macam siput saja, bawaannnya ketinggalan melulu di belakang. Jadilah aku yang sibuk-sibuk teriak-teriak macam toa menasah, supaya yang di depan jangan cepat sekali, biar bisa dikontrol. Sedang, yang di belakang maunya memacu sedikit, biar tidak tinggal melulu. Kan kalau sempat diculik hewan-hewan tak jelas, kan bahayya.

Saat tiba di pertigaan, si Lek berhenti tiba-tiba. Dalam perjalanan kali ini, ia memang bertindak sebagai guide. Ia meminta pendapatku. “kak, arah mana kita ambil? Kalau dari arah kiri, perjalanannya akan sedikit sulit untuk anak-anak, tapi cepat sampainya, karena dekat. Kalau dari kanan, jalannya enak, tapi lumayan jauh memutar. Bagaimana?” semua anak-anak bengong menunggu keputusanku. Para pengurus lain yang baru berhasil merapatkan jaraknya dengan kami pun menunggu. Yang sudah duluan sok gaya memilih jalan sendiri, mundur lagi setelah diteriaki kawannya. Semua menunggu. Aku jadi nervous…

Karena pertimbangannya adalah keselamatan anak-anak, setelah kesepakatan dengan lainnya, kami memilih jalan kanan (ke atas). Tapi, 15 menit kemudian, aku langsung menyesal tak karuan. Ternyata jalannya benar-benar kecil, sekadar bisa jalan kaki, mengilingi bukit yang di bawahnya jurang semua, kalau jatuh, ya sudah. Say good bye terus kepada dunia. Lantas, jauh lagi. Tapi sepertinya cuman aku yang kesusahan. Anak-anak itu semangat sekali jalannya. Belum apa-apa, sudah sampai ke tempat pohon jamblang. Kami tiba di situ, mereka sudah turun dari pohon dengan kantong plastik penuh. Jadinya, aku hanya bisa menilang jamblang mereka. Lumayan juga.

Perjalanan kami hanya sedikit lagi. Di depan berdiri kokoh bebatuan besar dengan angkuhnya. “kita sudah sampai kak.” Aku menjawabnya dengan pandangan tak percaya, tidak bisa berkata-kata lagi. Bukan karena betapa indahnya. Tapi dimana air terjunnya? Memang sih, bebatuan itu tampak seperti tempat air mengalir, yang akan membentuk air terjun. Tapi mana airnya? “kalau musim hujan baru ada airnya kak. Tapi tenang, di atas ada airnya kog.”

Aku hanya mengangguk, pasrah. Setelah jauh-jauh berjalan, ternyata hanya bisa memandang bebatuan. Tapi, dia bilang apa tadi? Menaiki bebatuan ini? Aku berpaling ke belakang. Enggak salah dengar aku? Lihatlah anak-anak itu, usia kelas 1 SD itu mau diapain? Jangankan mereka, aku yang sudah besar begini belum tentu bisa menaiki bebatuan itu dengan selamat. Selain tinggi menjulang, karena ada sisa-sisa rembesan air, jadinya licin sekali.

Kalau jadi naik, resiko terbesarnya akan ada yang jatuh atau kenapa-napa. Dan aku yang harus menanggungnya. Kalau tidak jadi, berarti piknik hari ini batal, kami harus harus pulang kembali, dan misiku akan selamanya gagal. Karena, jika sudah berjanji dengan anak-anak, dan tidak berhasil ditepati dengan baik, maka jangan harap bisa berjanji untuk kesekian kalinya. Selagi aku menimbang-nimbang. Ternyata si Ramadhan dan beberapa anak laki-laki yang lain sudah berjoget-joget di atas bebatuan sana. Si Lek juga sudah di sana. Woi, kapan naiknya itu bocah-bocih? Mereka menunjuk ke arah kanan, di sana ada sebesar jalan setapak yang tanah, alias bukan bebatuan, tapi sepertinya lumayan licin juga.

Yang perempuan memandangku penuh kekhawatiran, sedang yang laki-laki cukup sumrigah. Belum sekejap ku memandang, mereka sudah di atas bebatuan, menyusul yang lainnya. “Mereka bisa pegangan di pohon, nanti kami bantu tarik dari atas kak. Enggak apa-apa ey. Enggak licin itu.” Si Lek mencoba menenangkan kekhawatiranku. Aku luluh juga. Akhirnya kami semua naik, tentu aku naik yang paling terakhir. Anak-anak itu merambat sedikit demi sedikit, saling dorong, dan juga teriak. Ada pula nangis dan berkata tidak akan mau-mau lagi ikut piknik yang semacam ini. Sedang aku hanya bisa menggigit bibir, berdoa dalam hati semoga mereka selamat ke tempat tujuan, menunggu giliranku naik. Wow, ternyata betul-betul licin. Pantes mereka teriak-teriak tadi. Tuhan, semoga aku selamat. Kan malu banget, kalau mereka selamat sedang aku jatoh.

bersambung tuk the next posting..

from: http://www.husnulkhatimahadnan.com/2012/06/journey-to-rigah-part-1.html

Leave a Reply